Disinilah
kita. Di dalam sebuah bis ber-AC menyusuri jalan beraspal, ramai. Perjalanan
telah dimulai.
Baru
kali ini kita bersama dalam sebuah perjalanan duka. Beliau, ya beliau yang
selama ini menemani kita telah tiada. Tak disangka, tak diduga. Berita itu seolah
menampar kita. Semua canda tawa itu. Semua yang engkau berikan, Bapak, sungguh
tiada terganti. Dan kini, pada siapa kami kan mengadu, tentang permainan bola
dwi warna itu?
Terjalnya
jalan beraspal mengingatkan kami semua, atas terjalnya perjuangan kita bersama
dalam kampus tercinta. Engkau yang tak lelah membimbing kami degan segala
kebebalan kami. Dengan segala protes kami. Engkau tetap sabar, mengajarkan apa
yang engkau ketahui pada kami. Dan kini, setelah engkau tiada, Bapak, bagaimana
kami akan mengganti?
Senyum
getir selalu menghiasi bibir kami, Bapak, ketika kami mengingat kenangan yang
kita miliki bersama. Senang, sedih, kita lalui dengan bahagia karena kita
mempunyai satu sama lain. Terjalnya batu sandungan yang menghalangi seolah tak
berarti bagi kita. Senyum dan tawa penuh penghargaanmu pada kami itulah yang
memberi kekuatan bagi kami semua.
Ah,
semua kalimat-kalimat ini tak akan bisa mewakili apa yang sebenarnya kami
rasakan, Bapak. Terkadang apa yang tidak diungkapkan, akan jauh lebih indah.
Jauh lebih bermakna. Tapi biarlah kami menuliskan catatan kecil ini, agar bisa
terkenang abadi, apa yang telah kita lalui bersama selama ini.
Terakhir,
kami haturkan permohonan maaf kami, Bapak. Kepada engkau yang kini jauh di
sana. Mohon maaf, selama ini kami yang kadang tiada mengindahkan nasihatmu.
Mohon maaf, apabila selama ini kami kerap melukai hatimu. Tentu tak lupa ucapan
terima kasih setulus hati dari kami atas apa yang telah engkau lakukan bagi
kami. Semoga engkau beristirahat dengan tenang di sana, Bapak, dan diampuni
seluruh dosa-dosamu oleh Allah SWT, Tuhan semesta alam.
19 Oktober 2013
Di atas bis yang melaju kencang,
menuju tempat peristirahatan terakhirmu.
0 comments:
Posting Komentar