Jika kamu dihadapkan pada dua pilihan, dan pilihan
itu sama-sama penting bagimu, terlebih lagi pada kedua pilihan itu kamu
dibebani kepercayaan dari orang yang kamu kagumi, apa yang akan kamu lakukan?
Memilih berdasarkan kepentingan pribadi, atau bagaimana?
****
“Jika kamu nggak rajin ikut ekskul, nanti Bapak
nggak bisa milih kamu buat ikut turnamen…” kata pelatihku.
“Iya, saya mengerti Pak. Saya hanya bingung membagi
waktu dan …”
“Maaf, tapi ini juga berlaku untuk anak yang lain.
Bapak nggak bisa pilih kasih. Sekali lagi maaf ya,”sahut beliau, memotong
ucapanku.
“Hmm, iya Pak. Saya akan melakukan yang terbaik,
sebisa saya.” Aku mencoba meyakinkan beliau.
“Oke, Bapak tunggu keputusan finalmu, bagaimana
tanggung jawabmu dalam mengikuti ekskul ini,”kata Pak Wahyu, sambil melangkah
pergi, meninggalkanku dalam kebimbangan yang teramat dalam.
Seperginya Pak Wahyu, pelatih voliku, Mas Fajar
memanggilku dan berjalan ke arahku.
“Besok Sabtu ikut latihan kan? Waktu kita tinggal
beberapa hari lagi lho. Besok Mas Agung juga datang kok.” ucapnya, membuyarkan
lamunanku.
“Eh, ehmm, gimana ya Mas, aku juga barusan dikasih
tahu sama pelatihku itu kalau …”
“Iya, aku juga denger. Aku paham kok. Santai, aja,
kalaupun kamu nggak latihan taekwondo juga nggak papa. Tapi kamu latihan di
rumah ya,” katanya sambil tersenyum tipis. Kemudian dia menepuk bahuku, mencoba
menenangkan. Sikapnya yang terlalu santai itu tidak membuatku merasa lebih
baik, tapi malah merasa lebih buruk. Aku merasa tidak enak. Apalagi aku hanya
juniornya dan dia seniorku.
“Ya udah deh Mas, aku balik dulu ya. Mmm, Sabtu kan?
Aku lihat-lihat situasi dan kondisi dulu aja ya…” ucapku seraya tersenyum
getir. Setelah itu aku mengucapkan salam dan berbalik, berjalan menuju asrama,
tempat tinggalku selama aku bersekolah di MAN 3 Malang ini. Aku bingung.
Sesampainya di kamar, aku langsung menjatuhkan diri
ke lantai.
“Dhani, besok ada latihan sparring sama anak SMA BSS
lho! Dateng ya! Mbak Clara nanyain kamu mulu nih!” kata Venny, temanku di
ekstrakurikuler voli. Aku hanya diam, namun tanpa sengaja mataku melihat
kalender di atas meja.
“Aduh, hari ini hari Jumat ya? Berarti besok hari
Sabtu? Ya Tuhan, bagaimana ini?” gumamku. Untung saja Venny tidak mendengar.
Melihat aku diam dan tidak segera manjawab, Venny menjentikkan jarinya yang
lentik di depan wajahku, membuatku berpaling kepadanya.
“Ha? Apa? SMA BSS ya? Hmm, itu buat latihan turnamen
kan?” jawabku.
“Iya Dhan, kata Pak Wahyu latihan ini sebagai
penentuan siapa aja yang bisa ikut turnamen besok. Eh, tau nggak, sebenernya
aku udah dikasih bocoran lho, siapa aja yang udah pasti main di turnamen. Yang
pasti sih para senior kita itu, aku, Desy, Andin…” kelanjutan kata-katanya
tidak aku dengar, aku sudah pasrah. Mungkin memang aku ditakdirkan untuk tidak
mengikuti pertandingan voli itu.
“Makanya, kamu yang rajin latihan ya! Pak Wahyu juga
udah ngusahain seragam buat kamu …” lanjut Venny. Tunggu dulu …
“Seragam? Buat apa?” tanyaku heran.
“Lah, kamu gak dengerin aku barusan? Aku kan udah
bilang kalo kamu ikut turnamen,” jawabnya sedikit kesal.
“Lho, bukannya aku jarang latihan ya? Lagian kan aku
masih pemain baru,”
“Gak tau, Pak Wahyu maunya kamu sih,” tukas Venny.
Alhamdulillah, aku masuk tim voli untuk turnamen itu. Tapi, oh tidak, kalau begini
caranya mau tidak mau aku harus ikut latihan di SMA BSS besok. Itu artinya aku
akan meninggalkan latihan taekwondoku. Sudahlah, aku akan jalani saja.
****
Aku, Chintya Devi Pramadhani, baru saja masuk
sebagai siswa baru di MAN 3 Malang, sekolah impian yang kini benar-benar
menjadi kenyataan bagiku. Berada di sekolah baru tentu membuatku sangat
bersemangat untuk mencoba dan mengetahui hal-hal baru, yang tidak aku dapatkan
di SMP. Aku mengikuti berbagai macam ekstrakurikuler dan kegiatan untuk memuaskan
keinginanku tersebut. Mulai dari jurnalis, taekwondo, berbagai macam
kepanitiaan, sampai Bakti Sosial, semua kuikuti dengan baik agar hasilnya bisa
maksimal. Pada awalnya semua berjalan dengan teratur, aku bisa patuh pada
jadwal dan bisa mengatur waktu dengan sempurna. Namun, kini ada sesuatu yang
mengganjal hatiku. Semua dimulai pada hari itu. 2 Februari 2012.
Siang hari sepulang sekolah …
“Hey, nanti jadi ikut latihan gak?” tanyaku pada
salah satu teman akrabku yang sedang mengangkat tas miliknya, bersiap untuk
pulang.
“Ya terserah aja sih, aku ngikut aja deh. Ntar juga
aku ke lapangan kok.” jawabnya.
“Well, aku liat kondisi dulu aja ntar. Udah ya, aku
mau salat dulu. Daaah!” ucapku sekaligus mengakhiri pembicaraan.
Ya, kami telah sepakat pada hari sebelumnya kalau
kami akan mengikuti latihan rutin tim voli sekolah ini sebagai persiapan untuk
tes voli pada esok hari.
Pukul 15.30 WIB aku telah bersiap di lapangan
bersama anak voli yang lain. Latihan voli dimulai, dan diakhiri pada pukul
17.00 WIB. Kami semua duduk lemas di halaman sekolah karena capek mengejar
bola.
Tidak disangka, pelatih menghampiriku.
“Kamu kelas berapa?” tanya beliau. Aku yang sedang
minum tidak menyadari kalau yang sedang beliau tanya adalah aku. Melihat aku
tidak segera menjawab, Venny segera menjawab pertanyaan pelatih kami.
“Kelas sepuluh, Pak.” kata Venny sambil menepukku.
Aku tersadar, dan hanya tersenyum.
“Permainanmu bagus, kamu bisa jadi pengganti kakak
kelasmu ini. Ikut terus aja ya,” kata pelatih. Aku hanya bisa terpana begitu
melihat Kak Clara, Kak Dian, dan senior yang lain melihatku, akhirnya aku juga
ikut tersenyum senang.
****
Minggu-minggu berikutnya, aku mulai dipusingkan
dengan jadwal voli dan taekwondo yang berbenturan. Kedua ekstrakurikuler
tersebut sama-sama menjadikan hari Sabtu sebagai hari latihannya. Ajakan dan
teguran dari teman dan seniorku berdatangan dengan silih berganti, membuatku
pusing.
“Dhani, ntar latihan taekwondo jangan lupa ya,”
“Dhan, ada sparring sama SMKN 2 Malang tau. Kita
belum latihan, gimana nih? Ntar latihan ya!”
“Tau gak, ada latihan gabungan hari Sabtu sama anak
UM. Kalo gak ikut, besok pas UKT disuruh push-up lima puluh kali kaya kemarin
lagi tau,”
“Dhani, Pak Wahyu nyariin kamu tau.”
“Dhani, kok kemarin Sabtu gak latihan voli?”
“Kemarin ke mana? Latihan taekwondonya garing banget
tau, yang masuk Cuma 10 orang. Kamu sibuk apa sih?”
Seperti itulah yang aku dengar dari mereka. Aku
capek, hampir setiap hari aku latihan ini dan itu. Latihan, latihan, dan
latihan. Aku jadi mudah sekali mengantuk di sekolah karena terlalu capek.
Begitu menyadari aku tidak bisa membagi waktu dengan
baik pada hari Sabtu itu, aku sadar aku aku harus focus dan melepas salah satu
cabang olahraga dari kedua ekstrakurikuler yang aku ikuti tersebut.
Namun, masalah baru menghampiriku. Melepas taekwondo,
itu artinya aku menyia-nyiakan segala hal yang telah aku korbankan sejak enam
bulan yang lalu, juga mengecewakan pelatih yang telah membimbingku sampai aku
berhasil naik dua tingkat dan akan mengikuti pertandingan taekwondo. Melepas
voli, berarti aku meninggalkan pertandingan voli tahun depan yang akan
memperebutkan piala gubernur. Juga meninggalkan anggota tim yang voli yang baru
saja akrab denganku. Terlebih lagi menyia-nyiakan seragam yang telah Pak Wahyu
usahakan demi aku agar aku bisa ikut pertandingan. Aku sama-sama mencintai dan
telah banyak berkorban demi masing-masing ekstrakurikuler tersebut, namun jika
aku tidak melepas salah satu dari keduanya aku tidak akan bisa fokus dan
hasilnya tidak akan maksimal. Mau tidak mau, suka tidak suka aku harus melepas
salah satu. Taekwondo atau voli? Benar-benar simalakama. Ya, aku membutuhkan
jawaban secepatnya, kawan.
0 comments:
Posting Komentar